Minggu, Oktober 26, 2008

Kiamat ???



Letusan Gunung Api Dunia (di Nusantara?)
Harus kita ketahui bersama, berdasarkan catatan yang telah dibuat oleh sejarawan dan para ahli geolgis bahwa 4 letusan api yang terbesar disepanjang umur bumi ini, 3 diantaranya ada di Indonesia.
Dari penelitian geologis dan catatan sejarah memang menunjukkan sejumlah bencana besar pernah terjadi di kawasan Asia Tenggara, terakhir adalah gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Nias. Bencana lainnya yang sering terjadi di kawasan itu adalah letusan gunung berapi. Dari hipotesis, penelitian geologis, dan sejarah juga menunjukkan setidaknya ada tiga letusan gunung api terbesar yang menjadi perhatian dunia.
Di dalam buku Volcanoes in Human History karya Jelle Zeilinga de Boer dan Donald Theodore Sanders yang diterbitkan tahun 2001 disebutkan Gunung Toba yang berada di Sumatera Utara meletus sekitar 74.000 tahun yang lalu merupakan letusan gunung api terbesar, kemudian Gunung Tambora di Pulau Sumbawa yang meletus tahun 1815, dan urutan berikutnya Gunung Thera di kawasan Mediterania, dekat Pulau Kreta sekitar tahun 1630 sebelum Masehi. Urutan keempat adalah Gunung Krakatau yang berada di antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera meletus pada tahun 1883.



Dari keempat gunung yang tergolong besar letusannya itu, catatan mengenai letusan Gunung Tambora dan Gunung Krakatau mungkin paling lengkap. Kathy Furgang menulis buku berjudul Tambora a Killer Volcano from Indonesia (2001) dan Simon Winchester menulis buku berjudul Krakatau The Day The World Exploded (2003).
Meski belum ditulis dalam bentuk buku yang lebih populer, upaya untuk mengetahui mengenai letusan Gunung Toba banyak dilakukan. Pada tahun 1998 antropolog Stanley Ambrose dari Universitas of Illinois at Urbana Champaign dalam Journal of Human Evolution menyebutkan, ada kejadian besar yang disebut "musim dingin vulkanis" yang merupakan suhu terdingin setelah 1.000 tahun abad es yang terakhir. Ambrose memperkirakan kejadian itu pada 71.000 tahun yang lalu.
Dalam membuat hipotesis ini Ambrose dibantu oleh beberapa ahli genetik dan ahli gunung berapi. Ia memperkirakan letusan itu telah menyebabkan musim dingin selama enam tahun di bumi dan mengubah secara signifikan iklim pada seribu tahun kemudian.
Kejadian itu menyebabkan kelaparan dan kematian pada manusia di seluruh dunia. Pada masa itu terjadi diferensiasi atau divergensi genetik dari populasi yang selamat dari bencana itu. Ambrose mengatakan, bila perhitungan ahli genetik benar, maka diperkirakan populasi manusia modern hanya tinggal sekitar 15.000 hingga 40.000 orang. Ia berkeyakinan kejadian itu adalah meletusnya Gunung Toba di Sumatera.
PENELITIAN letusan Gunung Toba itu juga dilakukan. Pada tahun 2003 beberapa ilmuwan di India meneliti dampak letusan Gunung Toba terhadap populasi manusia pada zaman palaeolitik di India. Seorang peneliti selama enam bulan pertama berada di daerah Kurnool di Distrik Andhra Pradesh. Di daerah itu ia menyurvei goa dan daerah yang diperkirakan kaya dengan abu vulkanis dan bukti-bukti arkelologis sebelum masa palaeolitik hingga megalitik.
Gunung Toba memang menarik perhatian banyak peneliti. Gunung Toba diperkirakan memuntahkan material hingga 3.000 kilometer kubik ke atmosfer hingga disebut sebagai "supervolcano". Jumlah material ini sama dengan 3.000 kali letusan Gunung Sint Helena yang terjadi pada tahun 1980.
Dalam sebuah buku pelatihan mengenai bencana di Universitas Utah di Amerika Serikat disebutkan, gas dan debu dikeluarkan dari Gunung Toba. Sejumlah tanaman dan binatang bisa tetap hidup meski suhu bumi turun hingga 15 derajat Celcius akibat sinar matahari tertutup oleh debu itu. Jumlah manusia diperkirakan hanya tinggal ribuan saja.



Survei dan berbagai analisis terhadap Gunung Toba terus dilakukan. Salah satu yang kontroversial adalah pernyataan seorang ahli dari Australia yang menyatakan kemungkinan Gunung Toba akan aktif.
Akan tetapi, pendapat itu dibantah oleh peneliti dari Indonesia. Kepala Bidang Seismologi Teknik dan Tsunami Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Dr Fauzi mengatakan, pendapat yang menyatakan Danau Toba akan mengering atau meletus akibat gempa besar di pesisir barat Sumatera sangat spekulatif dan tidak memiliki dasar ilmiah yang bisa diterima (Kompas, 18/4/2005).
Menurut Fauzi, keberadaan Danau Toba bahkan dapat berfungsi mengurangi aktivitas Sesar Sumatera atau Sesar Semangko. Danau Toba berada sekitar 10 kilometer sebelah timur Sesar Sumatera.
"Adanya Danau Toba justru yang membuat Sesar Sumatera aseismik atau tidak bergetar," tambahnya. Peredaman aktivitas sesar tersebut dapat terjadi karena ada pemanasan pengangkatan dari magma, aliran panas yang lebih tinggi mengakibatkan tanah di sekitar sesar tidak kaku atau rigid. Sebab, bila kaku akan menyebabkan patah.
Meski demikian, di beberapa buku masih disebutkan Gunung Toba tidak mati. Gunung Toba hanya tidur dan kemungkinan suatu saat bisa kembali meletus dengan letusan dengan sangat hebat dan bisa merusak kehidupan di planet ini.
LETUSAN besar yang catatannya lengkap adalah Gunung Tambora. Letusan gunung itu memuntahkan material sebanyak 100-150 kilometer kubik. Sekitar 10.000 orang mati dalam bencana ini akibat letusan, kejatuhan material vulkanis, dan terkena aliran lava pijar. Lemparan abu ke angkasa mengakibatkan lapisan atas atmosfer membentuk warna lembayung seperti matahari hendak tenggelam.



Suhu global mengalami penurunan yang kemudian dikenal tahun tanpa musim panas. Jumlah orang yang meninggal bertambah bila dampak tidak langsung dari letusan itu berupa munculnya penyakit dan kelaparan setelah bencana itu dihitung. Korban yang meninggal sebagai akibat tidak langsung dari letusan Gunung Tambora mencapai sekitar 82.000 jiwa.
Adapun Gunung Krakatau yang meletus tahun 1883 melempar material vulkanis sebanyak 18 kilometer kubik. Saking kerasnya letusan ini terdengar hingga Australia dan Pulau Rodriogues yang terletak di antara Pulau Diego Gracia yang berada tidak jauh dari Mauritius. Suara letusan gunung itu terdengar hingga 3.000 kilometer dari tempat asal letusan. Letusan ini juga mengakibatkan penurunan temperatur global.
Korban yang meninggal akibat tertimpa lemparan material dan terutama akibat gelombang tsunami mencapai 35.000 jiwa. Saat menjelang terjadinya tsunami, beberapa orang yang berada di pantai malah mengambil ikan ketika laut surut. .Sejak letusan itu, sebuah gunung kecil yang kemudian disebut Anak Krakatau muncul di tempat itu. Anak Krakatau masih aktif sampai sekarang.
Berbagai cerita menarik tertulis dalam buku Krakatau When The Day The World Exploded. Konfirmasi letusan Krakatau paling awal berasal dari sumber yang sama sekali tidak diduga, yaitu dari pabrik pemasok gas untuk Kota Batavia (sekarang Jakarta) yang terletak di sebelah selatan kota itu. Pada waktu itu pasokan gas digunakan untuk penerangan jalan.
Ketika letusan terjadi pada tanggal 27 Agustus 1883 seorang pengawas pabrik melihat perubahan naik turun yang sangat cepat pada gasometer. Perubahan ini akibat perubahan tekanan atmosfer. Catatan perubahan tekanan atmosfer itu dan juga waktu perubahan tekanan itu kini yang digunakan para ahli untuk meneliti letusan Krakatau itu. Catatan asli dari perubahan tekanan itu masih ada.
Letusan Krakatau juga melemparkan kapal yang tidak jauh berada di tempat itu. Sial bagi Kapal Berouw, kapal milik Belanda yang dilengkapi berbagai jenis senjata, yang terlempar hingga satu setengah mil ke arah hulu Sungai Kuripan di Lampung.
Beberapa bulan setelah itu sejumlah tim penyelamat sempat mendatangi kapal itu, namun kemudian mendiamkan bangkai kapal itu. Sampai tahun 1980-an dilaporkan masih ada sebagian kecil bangkai kapal itu. Penduduk setempat mengambil bagian-bagian kapal itu sebagai besi tua.
Dari tiga letusan gunung api di Indonesia cukup menjadi bukti bahwa Indonesia merupakan wilayah yang rawan bencana atau bisa dikatakan juga bahwa wilayah di sepanjang nusantara ini merupakan pusat Laboratorium bencana Gempa, Gunung Api dan Tsunami di dunia.
Ini yang kita sikapi secara arif,..
Bersahabat dengan bencana dan jangan menjadikan ia sebagai masalah yang harus kita “elakkan”… Kita harus melihat kebelakang sebelum menentukan kebijakan, bentuk kearifan lokal yang dilakukan oleh nenek moyang bangsa kita dalam menyikapi bencana gempa dan lain-lainnya. Contoh kecil yang kita bisa ambil, dalam membangun rumah selalu dengan bentuk yang anti “bencana alam”. Tidak serakah dalam pemakaian sumber daya alam.
Semoga kita dapat melakukan bench marking dari apa yang telah dilakukan oleh leluhur kita yang arif, dan bersahabat dengan bencana (alam).
(dari multi sumber)

Pingbox saye