Senin, Juli 07, 2008

BBm (bukan majalah mesum)

Pernyataan bahwa kenaikan BBM demi orang miskin juga harus dipertanyakan karena faktanya, menurut Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto, (Kompas, (7/5), kenaikan harga BBM sebesar 30 persen berpotensi mengakibatkan orang miskin bertambah sebesar 8,55 persen atau sekitar 15,68 juta jiwa.

Bantuan Tunai Langsung (BLT) plus sembako yang akan dibagikan kepada 19 juta rakyat miskin jelas tidak mencukupi karena selain jumlahnya kurang, sifatnya hanya sementara.

Ada apa gerangan dengan naiknya harga minyak dunia? Dalam teori ekonomi, salah satu faktor yang mempengaruhi kenaikan harga barang adalah berkurangnya penawaran (supply) yang tidak dibarengi oleh penurunan jumlah permintaan (demand). Atau, jumlah barang yang tersedia (stock) tidak dapat mengimbangi jumlah permintaan atas barang tersebut sehingga produsen menaikkan harga. Hal ini terjadi pada produksi minyak yang tidak melampaui target akibat berkurangnya cadangan minyak mentah dunia dan persoalan geopolitik.

Berkurangnya produksi minyak di beberapa negara eksportir (OPEC) tentu bukan faktor tunggal. Ada banyak fenomena lain yang membelakanginya, seperti persoalan geopolitik di Iraq, nasionalisasi perusahaan minyak di Bolivia, Venezuela, dan Ekuador berkuragnya cadangan minyak mentah di Laut Arktika, sampai eksploitasi besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan multinasional seperti Exxon Mobile, Medco, atau Total E&P. Hal ini merupakan implikasi dari globalisasi ekonomi yang menjadi salah satu agenda dari Washington Consensus (baca Amien Rais, 2008)

Penulis ingin menganalisis dua fenomena yang saling berkaitan dalam rentetan peristiwa ini: kenaikan harga BBM dan hubungannya dengan arus globalisasi ekonomi belakangan ini. Dua variabel ini menurut penulis memiliki keterkaitan yang erat.

Di Balik Kenaikan Harga BBM

Alasan klasik pemerintah dalam menaikkan harga BBM adalah penyelamatan APBN. Memang, subsidi APBN telah menyedot lebih dari 12% dari belanja negara, sebuah angka yang cukup besar. Apalagi asumsi harga yang digunakan oleh pemerintah dalam APBN hanya sekitar $95 per barel, sehingga otomatis terjadi defisit APBN. Dengan menaikkan harga di masyarakat, pemerintah berharap defisit anggaran tersebut dapat diminimalisasi dan disalurkan ke tempat yang lebih tepat.

Sesederhana itukah masalah yang ada? Jelas tidak. Ide untuk menaikkan harga BBM setidaknya harus didahuilui oleh sosialisasi yang tepat dan antisipasi gejolak perekonomian yang bakal terjadi. Pengalaman yang sudah-sudah, kenaikan harga BBM justru diikuti oleh kebijakan yang salah kaprah, tergesa-gesa, dan terkesan mencari popularitas, yaitu Bantuan Langsung Tunai.

Banyak sekali masalah yang ditimbulkan dari subsidi BLT ini jika kita berkaca pada peristiwa tahun 2005. Kericuhan, aksi anarkis, sampai subsidi yang ”salah masuk” mewarnai pemberian subsidi ini. Angka kemiskinan bukannya dapat ditekan, justru semakin melonjak karena menurunnya daya beli masyarakat akibat inflasi.

Kenaikan harga BBM katakanlah tidak tak terelakkan. Tetapi, pemerintah seharusnya terus berupaya agar perekonomian bangsa tidak terpengaruh pada krisis minyak di dunia internasional. Penulis mencatat, kesalahan Indonesia dalam kebijakan perminyakan adalah menempatkan perusahaan-perusahaan multinasional sebagai pesaing Pertamina dalam sektor hulu (produksi mentah). Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan mengakibatkan pemberian kompensasi yang tidak menguntungkan (Lebih jelas lihat Amien Rais, 2008).

Kenaikan ini tidak lepas dari ketergantungan bangsa ini dengan OPEC. Kita lihat, OPEC sekarang sudah kehilangan tajinya dan semakin bergantung pada mekanisme pasar. Di sisi lain, Indonesia justru semakin terbebani juga harus membayar iuran OPEC sebesar 2 Juta Euro per tahun (Sekitar 28 Miliar Rupiah). Ketergantungan dengan OPEC mutlak harus dihilangkan.

Sedikit Kutipan dari Hizbut-Tahrir Indonesia..

Akhirnya, Hizbut Tahrir Indonesia mengingatkan seluruh rakyat Indonesia, termasuk para pejabat dan para wakil rakyat, bahwa sesungguhnya negeri ini tidaklah akan bisa keluar dari krisis yang membelenggu kecuali jika di negeri ini diterapkan syariah Islam secara kâffah. Dengan syariah itulah kita mengatur aspek ekonomi agar kesejahteraan sekaligus kemuliaan rakyat bisa dicapai, keamanan bisa ditegakkan, kedamaian bisa diwujudkan dan kebahagiaan bisa dirasakan oleh seluruh rakyat. Oleh karena itu, harus ada gerakan bersama untuk kembali pada syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan dan menetapkan pemimpin yang amanah, tidak korup dan bertindak culas. Sungguh, hanya melalui syariah Islam dan pemimpin yang amanah sajalah kita bisa mewujudkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara baik.


وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لاَ يَعْلَمُونَ

Padahal kemuliaan itu hanyalah milik Allah, Rasul dan kaum Mukmin. Namun, orang-orang munafik itu tiada mengetahuinya (QS al-Munafiqun [63] : 8).


Semoga ..

Tidak ada komentar:

Pingbox saye